KBRN, Jakarta: RancanganUndang-Undang Cipta Kerja dinilai berpotensi gerus eksistensi kedaulatan negara,khususnya terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas (migas) pnasional,serta berpeluang mempertahankan status quo pengusahaan migas oleh Satuan KerjaKhusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Demikiandiungkapkan Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas HukumUniversitas Hasanuddin Makassar Prof. Juajir Sumardi, dalam videocoference, Jumat (15/5/2020).
DijelaskanJuajir, norma yang terdapat pada Pasal 41A Ayat (2) RUU Cipta Kerja mengatur:“pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan dapat membentuk ataumenugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khusus sebagai pelaksana kegiatanusaha hulu minyak dan gas bumi”.
“Jikasubstansi pasal tersebut dikaji, maka tidak ada kewajiban bagi pemerintah pusatuntuk membentuk BUMN khusus yang akan melaksanakan kegiatan usaha hulu minyakdan gas bumi," kata Juajir.
Dengandemikian lanjut dia, jika pemerintah nantinya menunda pembentukan BUMN khususyang melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan berbagaialasan dan kepentingan politik, maka berdasarkan Pasal 41A Ayat (2) pemerintahpusat tidak dapat dipersalahkan.
Juajirmenjelaskan, jika pemerintah pusat ternyata melakukan penundaan ataspembentukan BUMN khusus yang ditugasi untuk melaksanakan kegiatan usaha huluminyak dan gas bumi, berdasarkan Pasal 64A Ayat (1) maka kegiatan usaha huluminyak dan gas bumi tetap dilaksanakan oleh SKK Migas.
Padakesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS)Marwan Batubara mengatakan, RUU Cipta Kerja juga mengancam peranPertamina. Jika nantinya RUU tersebut disahkan dan kemudian pemerintahmembentuk BUMN Khusus, maka itu pertanda bentuk inkonsistensi pemerintah dalammendukung peran BUMN migas eksisting yaitu PT Pertamina (Persero).
Marwanmenilai pemerintah akan semakin ugal-ugalan dalam pengelolaan migas nasionaljika RUU Cipta Kerja ini diberlakukan. Sebab ada peluang bagi pemerintah untukmeniadakan peran Pertamina guna lebih jauh mengelola sumber daya alam,khususnya sektor energi. Padahal Pertamina sudah sangat terbukti mampumengelola migas dari hulu hingga hilir.
Olehsebab itu dia menilai tidak perlu Pemerintah membentuk BUMN Khusus sektor migasuntuk mengurusi dan mengelola energi nasional. Pemerintah hanya perlumeningkatkan status Pertamina sebagai BUMN Khusus yang memang dimandatkan untukmenjadi single operator dalam pengelolaannya. Dengan begitu pemerintahbenar-benar menunjukkan komitmennya untuk membuat Pertamina sebagai perusahaankelas dunia.
Ditekankanolehnya, sesuai Pasal 33 UUD 1945 negara harus berdaulat atas SDA migas."Mengingat pentingnya aspek pengelolaan eksploitasi SDA migas nasional,maka badan usaha yang berperan melakukannya sangat penting diatur secara tegasdan terukur dalam RUU Cipta Kerja dan RUU Migas baru. Skema pengelolaan melaluiBHMN dalam UU No.22/2001 harus diakhiri. Tidak ada alternatif lain, sepertitelah diatur dalam UU No.8/1971, lembaga pengeloala tersebut harus ditetapkansesuai konstitusi, yaitu berbentuk BUMN," paparnya.
MenanggapiRUU tersebut, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) ArieGumilar, menegaskan bahwa demi kepentingan nasional maka harus adakeberpihakan kepada BUMN Migas dalam hal ini Pertamina yang harus diberdayakandan dibesarkan.
"Karenaitu negara harusnya memberi hak kuasa pertambangan dan hak penguasaan kepadaPertamina melalui Kementerian ESDM untuk mengendalikan dan mengelola usaha hulumigas," ucap Arie.
Sumber :https://rri.co.id/jakarta/nama-peristiwa/838458/ruu-cipta-kerja-berpotensi-gerus-pengelolaan-migas-nasional#