Petroenergy.id, JAKARTA - Sejak RUU Migas masuk kedalam 11 (sebelas) cluster dalam Omnibus Law, RUU yang telah puluhan tahun mengendap di Senayan ini kembali ramai dibicarakan banyak pihak, salah satunya adalah Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
Melalui diskusi tanpa bertatap muka itu, FSPPB bersama para guru besar dan pengamat energi, melakukan kajian-kajian penting berkaitan dengan RUU Migas.
Dalam presntasinya, Arie Gumilar, Presiden FSPPB, mengatakan, sedkitanya ada lima point pokok pikiran FSPPB dalam kaitannya dengan RUU Migas, yaitu:
- Pengelolaan migas harus berorientasi pada pasal 33 UUD 1945 dan berorientasi pada kepentingan nasional.
- Negara memiliki mineral right, menyerahkan hak penguasaannya (mining right) dan hak pengusahaannya atau economic right migas dengan cara memberikan kuasa secara utuh pada satu BUMN, yang seratus persen dimiliki oleh Negara.
- Mengembalikan hak penguasaan dan pengusahaan pada sebuah BUMN yang pengaturannya diatur secara lex specialis dan terintegrasi.
- Pengaturan badan usaha hilir harus terintegrasi dengan infrastruktur di seluruh Indonesia.
- Penetapah harga PSO (khususnya BBM) ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan keterjangkauan harga dari konsumen. Dan ini harus dievaluasi secara periodik.
Menurut Arie Gumilar, kajian RUU Migas bertujuan untuk mengembalikan pengelolaan migas nasional secara mandiri. “Kajian ini kami lakukan selama periode 2014 sd 2017. Tujuannya untuk mengembalikan kemandirian pengelolaan migas nasional untuk kesejahteraan rakyat, sesuai amanah UUD 1945 pasal 33. Kajian ini kami lakukan selama periode 2014 hingga 2017,†ujarnya.
Menyinggung RUU Omnibus Law, Arie berpendapat bahwa adanya inkonsistensi, yang cenderung ingin mempertahankan status quo. Contohnya, pasal 41 (ayat 4A ), dimana pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu migas.
“Menurut kami kata ‘dapat membentuk’ini bisa saja pemerintah tidak membentuk (BUMN Khusus—red)?! Nah, kalau sampai tidak membentuk BUMN Khusus, itu artimya imgim mempertahankan status quo,†kata Arie Gumilar.
Arie meneruskan bahwa jika pemerintah memutuskan membentuk BUMN Khusus yang baru, maka akan terdapat inefisiensi yang perlu dilihat.
Sebab, ketika membentuk BUMN Khusus, kata dia, akan menimbulkan biaya baru. Konsep dan semangat yang dijalankan BUMN saat ini adalah holdingisasi, contoh holding migas pada tahun 2016 antara PGN dan Pertagas.
Karena itu, yang perlu diingat, kalau nanti diciptakan BUMN Khusus yang baru yang bergerak di bidang migas, pada akhirnya akan di-holding lagi. “Nah, ini yang saya katakan: inefisiensi,†ujar Arie Gumilar. [MK]
Sumber : http://petroenergy.id/article/fsppb-ruu-omnibus-law-cluster-migas-berpotensi-pertahankan-status-quo?c=oil